Kapan Berakhirnya Perlawanan Kesultanan Mataram?

Kesultanan Mataram adalah salah satu kerajaan besar di Indonesia yang memiliki sejarah panjang dan penuh peristiwa penting. Salah satu pertanyaan yang sering muncul dalam kajian sejarah adalah mengenai berakhirnya perlawanan Kesultanan Mataram. Dalam artikel ini, kita akan membahas sejarah perlawanan Kesultanan Mataram dan momen penting yang mengakhiri kekuasaannya.

Perlawanan Awal

Perlawanan Kesultanan Mataram dimulai sejak masa pemerintahan Sultan Agung Hanyokrokusumo pada abad ke-17. Sultan Agung dikenal sebagai salah satu penguasa Kesultanan Mataram yang paling kuat. Ia melakukan berbagai upaya untuk mempertahankan kekuasaannya, termasuk melawan pasukan Belanda yang mulai mengancam wilayah Mataram.

Namun, perlawanan Sultan Agung tidak mampu menghentikan kemajuan Belanda. Konflik terus berlanjut hingga masa pemerintahan Sultan Agung yang kedua, yaitu Sultan Amangkurat II. Meskipun Sultan Amangkurat II berusaha untuk memperkuat pertahanan Mataram, namun Belanda tetap berhasil merebut beberapa wilayah penting, seperti Semarang dan Jepara.

Pada saat itu, Belanda juga berhasil memperoleh dukungan dari pihak-pihak lokal yang tidak puas dengan kebijakan Mataram. Ini semakin melemahkan posisi Kesultanan Mataram dalam perlawanan. Sultan Agung Hanyokrokusumo sendiri wafat pada tahun 1646, dan konflik berlanjut dengan penerusnya.

Selama beberapa dekade berikutnya, Mataram terus berjuang melawan Belanda, tetapi kekuatannya semakin berkurang. Pasukan Belanda yang lebih terorganisir dan teknologi militer yang lebih baik memberikan keunggulan yang signifikan. Perang melawan Belanda semakin sulit bagi Mataram.

Akhirnya, pada tahun 1755, berlangsunglah penandatanganan Perjanjian Giyanti yang menandai akhir dari perlawanan Kesultanan Mataram. Perjanjian ini mengakibatkan pembagian wilayah Mataram menjadi dua kesultanan yang lebih kecil, Surakarta dan Yogyakarta. Ini adalah momen penting dalam sejarah berakhirnya Kesultanan Mataram.

Penandatanganan Perjanjian Giyanti

Penandatanganan Perjanjian Giyanti pada tahun 1755 merupakan titik balik dalam sejarah Kesultanan Mataram. Perjanjian ini melibatkan Kesultanan Mataram, Belanda, dan juga kelompok pemberontak yang aktif melawan Kesultanan Mataram. Perjanjian ini diprakarsai oleh VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie), perusahaan dagang Belanda yang memiliki kepentingan besar di Indonesia.

Salah satu pemicu penandatanganan perjanjian ini adalah ketidakstabilan dalam Kesultanan Mataram sendiri. Saat itu, terdapat konflik suksesi antara dua pangeran, yaitu Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Puger. Konflik ini memanfaatkan persaingan Belanda untuk mengamankan kepentingan mereka di Jawa Tengah.

Perjanjian Giyanti mengakibatkan pembagian wilayah Mataram menjadi dua kesultanan yang lebih kecil. Pangeran Mangkubumi diberi wilayah Surakarta, sedangkan Pangeran Puger mendapatkan wilayah Yogyakarta. Pembagian ini dimaksudkan untuk meredakan ketegangan dan memberikan Belanda pengaruh yang lebih besar di wilayah tersebut.

Sementara Pangeran Mangkubumi menerima Surakarta sebagai wilayahnya, ia kemudian menjadi Sunan Pakubuwono III, penguasa pertama Kesultanan Surakarta. Sedangkan Pangeran Puger menjadi Sultan Hamengkubuwono I, penguasa pertama Kesultanan Yogyakarta. Dua kesultanan ini masih eksis hingga saat ini dan memiliki peran penting dalam sejarah Jawa Tengah.

Penandatanganan Perjanjian Giyanti juga mengatur berbagai aspek, termasuk pembagian kekuasaan, pajak, dan hubungan antara kesultanan dan Belanda. Ini adalah salah satu contoh dari cara Belanda menggunakan diplomasi untuk mengamankan kontrol mereka di Indonesia pada masa kolonial.

Kesimpulan

Perjanjian Giyanti pada tahun 1755 menjadi titik akhir dalam sejarah Kesultanan Mataram yang pernah kuat dan berpengaruh di Jawa Tengah. Pembagian wilayah Mataram menjadi Kesultanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta mengakhiri perjuangan panjang melawan Belanda yang telah berlangsung selama beberapa dekade.

Setelah penandatanganan perjanjian tersebut, dua kesultanan baru muncul dengan penguasa masing-masing. Kesultanan Surakarta dikuasai oleh Sunan Pakubuwono III, sementara Kesultanan Yogyakarta dipimpin oleh Sultan Hamengkubuwono I. Kedua kesultanan ini memiliki peran penting dalam menjaga warisan budaya dan sejarah Kesultanan Mataram.

Perjanjian Giyanti juga mencerminkan strategi Belanda dalam memanfaatkan ketidakstabilan internal dalam kerajaan Jawa untuk mengamankan kepentingan mereka. Ini adalah salah satu contoh bagaimana kolonialisme Eropa memengaruhi perjalanan sejarah Indonesia.

Meskipun Kesultanan Mataram telah berakhir, warisan budaya dan sejarahnya tetap hidup dalam bentuk arsitektur, seni, dan tradisi di wilayah Jawa Tengah. Sejarah perlawanan Mataram terhadap Belanda menjadi bagian integral dari sejarah Indonesia yang kaya dan beragam.

Pertanyaan Umum (FAQ)

1. Apa yang menyebabkan berakhirnya Kesultanan Mataram?

Perjanjian Giyanti pada tahun 1755 menjadi penyebab utama berakhirnya Kesultanan Mataram. Kesultanan terbagi menjadi dua, Surakarta dan Yogyakarta, setelah perjanjian tersebut.

2. Bagaimana Sultan Agung berusaha mempertahankan Kesultanan Mataram?

Sultan Agung Hanyokrokusumo melakukan berbagai upaya perlawanan terhadap Belanda selama masa pemerintahannya, tetapi Belanda berhasil menguasai sebagian besar wilayah Mataram.

3. Apa pengaruh berakhirnya Kesultanan Mataram terhadap sejarah Indonesia?

Peristiwa berakhirnya Kesultanan Mataram memiliki dampak signifikan terhadap perkembangan sejarah Indonesia, terutama dalam pembentukan dua kesultanan baru, Surakarta dan Yogyakarta, yang tetap ada hingga hari ini.

Sampai jumpa kembali di artikel menarik lainnya. Teruslah eksplorasi sejarah Indonesia yang kaya ini!